KULTUR LOKAL DALAM HARMONI DI RUANG INDUSTRI

Standar

Kultur budaya local dalam ikhtiar deradikalisasi buruh. Persoalan gejolak buruh kerap diasumsikan karena UMR. Karena upah yang terlalu minim. Satu hal itu benar. Namun bila menengok lebih dalam factor kebutuhan buruh sebagai manusia. Niscaya kita akan mengakui bahwa kebutuhan buruh sebagai manusia tidak hanya berhenti hingga materi. Ada kebutuhan moril, kebutuhan akan estetika, kebutuhan eksisten dan lain sebagainya.
Satu hal yang belum banyak dilakukan para pengambil kebijakan di perusahaan adalah bagaimana kultur budaya local diaplikasikan di perusahaan. Bagaimana budaya setempat dihidupkan dalam proses produksi. Tentu dengan target utama menggenjot kualitas dan poduktivitas pekerja. Bagus-bagus kalau kemudian bisa dihidupkan sehingga menjadi corporate cultur.
Fenomena kebanyakan yang terjadi, seakan budaya local lebih kuat karakter protagonist. Karakter yang berseberangan dengan karakter industry modern. Asumsi ini wajar hidup mengingat industri yang dibangun tidak berbasis pada pengembangan paradigma kearifan lokal. Malah sebaliknya. Industry yang berasal dari Jepang, yang lebih kuat adalah budaya jepang. Industri dari barat, budaya Barat juga ikut dibawa-bawa. Industry Korea, budaya Korea yang dipraktekan. Padahal, notabene pabriknya berdiri di Pasir Gombong (baca : Cikarang) misalnya.
Ironisnya, banyak pengambil keputusan yang sengaja menghidupkan budaya mereka di sini. Walau mereka punya capital, tetap saja kalau mereka usaha di wilayah setempat maka harusnya budaya setempatlah yang diaplikasikan. Kita lihat saja betapa beraninya para pengambil keputusan berdiam diri. Gak mungkin gak tahu-lah. Dengan munculnya hotel-hotel tempat menginap para pekerja Korea dan Jepang yang menyediakan semua kebutuhannya. Bukan hanya kebutuhan tempat tinggal tapi juga kebutuhan biologis. Disediakan rumah lengkap beserta ‘istri’. Nah, ini kan contoh telanjang bahwa budaya luar yang tidak berpikir tentang aturan Ilahi, seperti yang hidup dalam kultur local Bekasi. Tidak diindahkan oleh para pekerja luar.
Makna Kearifan Lokal
Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai suatu sintesa budaya yang diciptakan oleh aktor-aktor lokal melalui proses yang berulangulang, melalui internalisasi dan interpretasi ajaran agama dan budaya yang disosialisasikan dalam bentuk norma-norma dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat.
Actor-aktor local bisa apa saja, baik tokoh atau pun mitos dan legenda yang diinternalisasi.

Kearifan lokal merupakan tata aturan tak tertulis yang menjadi acuan masyarakat yang meliputi seluruh aspek kehidupan, berupa (1) tata aturan yang menyangkut hubungan antar sesama manusia, misalnya dalam interaksi sosial baik antar individu maupun kelompok, yang berkaitan dengan hirarkhi dalam kepemerintahan dan adat, aturan perkawinan antar klan, tata karma dalam kehidupan sehari-hari; (2) tata aturan menyangkut hubungan manusia dengan alam,binatang, tumbuh-tumbuhan yang lebih bertujuan pada upaya konservasi alam, seperti di Maluku ada sasi darat dan sasi laut; (3) tata aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan yang gaib, misalnya Tuhan dan roh-roh gaib. Kearifan lokal dapat berupa adat istiadat, institusi, kata-kata bijak, pepatah (Jawa: parian,paribasan, bebasan dan saloka).

Dilihat dari keasliannya, kearifan local bisa dalam bentuk aslinya maupun dalam bentuk reka cipta ulang (institutional development) yaitu memperbaharui institusi-institusi lama yang pernah berfungsi dengan baik dan dalam upaya membangun tradisi, yaitu membangun seperangkat institusi adat-istiadat yang pernah berfungsi dengan baik dalam memenuhi kebutuhan sosial-politik tertentu pada suatu masa tertentu, yang terus menerus direvisi dan direkacipta ulang sesuai dengan perubahan kebutuhan sosial-politik dalam masyarakat. Perubahan ini harus dilakukan oleh masyarakat lokal itu sendiri, dengan melibatkan unsur pemerintah dan unsur non-pemerintah, dengan kombinasi pendekatan top-down dan bottom-up (Amri Marzali, 2005).

Meng-install Kearifan Lokal di Ruang Industri
Memasang kearifan lokal dalam setiap napas industri menjadi alternatif yang layak dicoba. Bagaimana pun kehadiran pekerja di pabrik, pasti mengikut sertakan pula budaya kampungnya. Nah, bila nafas itu juga disediakan selangnya di pabrik. Tentu, setiap pekerja akan merasa at home (berasa di rumah sendiri). Otomatis akan muncul sense of belonging. Perasaan memliliki. Sehingga, bila ada sesuatu yang dianggap ‘mengganggu’ maka pekerja-pekerja itu akan menjadi pagar sosial.
Manajemen di pabrik atau perusahaan harus memberikan ruang agar kearifan local itu tumbuh. Didasari oleh penghargaan perusahaan terhadap pekerja sebagai bagian penting berjalannya proses produksi. Bukan hanya pas akhir bulan diberikan honor. Tapi, menyediakan ruang bagi aktivitas-aktivitas budaya. Misalnya seperti membangun komunitas sepakbola, kelompok futsal, kelompok seni tradisional, komunitas sastra, komunitas teater, tari dan lain sebagainya.
Agenda ini diperkuat dengan sokongan dari perusahaan. Menggairahkan pekerja dengan lomba stand up komedi, lomba pidato, lomba melawak kelompok, lomba puisi dan lain sebagainya. Malah, bagus-bagus kalau kemudian perusahaan juga bisa menyalurkan pekerjanya untuk ikut dalam perlombaan sehingga sang pekerja pun menjadi bintang. Daripada perusahaan mensponsori artis atau bintang yang berasal dari luar perusahaan dengan harga yang mahal, bintang dari internal pasti lebih murah dan lebih bermanfaat. Sehingga akan tumbuh semangat kekeluargaan.
Selain itu, perusahaan juga bisa membangun desain interior pabrik dengan sesuatu yang bernuansa kampong. Pertanyaannya, sanggupkah ruang bernuansa tradisionalis berperan dalam peningkatan produktivitas? Pertanyaaan ini harus dijawab dengan pertanyaan darimana sumber produktivitas itu. Tentu jawabnya dari individu-individu itu sendiri. Artinya, bila sikap profesionalisme sudah terpelihara baik maka ruang dengan nuansa tradisional akan menambah kenyamanan. Berasa di kampung.
Bila ruang industri dibangun dengan model yang mengakomodir kearifan local, niscaya para penghuninya juga tidak akan mengalami alienasi (keterasingan). Sehingga akan tumbuh kebersamaan dan sense of belonging. Yakin, pasti deradikalisasi juga terjadi. [kim]

Tinggalkan komentar